Festival Dalang Bocah di “Hari Wayang Dunia”

Oleh: L Surajiya*

Sanggar Semut Indonesia bekerja-sama dengan Sanggar Bodronoyo, PEPADI (Persatuan Dalang Indonesia) menggelar Festifal Dalang Bocah mulai hari Minggu, 25 Oktober 2015 hingga tanggal 8 November 2015, tiap hari Minggu. Pada akhir Festival akan diakhiri dengan pagelaran wayang semalam suntuk oleh Ki Guntur Purbowasito di Sanggar Seni Bodronoyo, Watumurah, Pendoworejo, Girimulyo, Kulon Progo. Sanggar Semut Indonesia yang memiliki filosofi “bekerja dan bekerja sama” ini sebagai panitia, mengatakan bahwa dalam acara ini untuk tempat, wayang, dan gamelan serta penabuhnya disediakan oleh Sanggar Bodronoyo, harapannya para Dalang tidak perlu repot-repot menyiapkan pementasannya seperti wayang, gamelan, penabuh dan lain-lain, melainkan bisa cukup dengan datang dan menampilkan kemampuannya mendalang dan mengolah wayang menjadi cerita yang hidup dengan lakon yang akan dibawakannya masing-masing. Walaupun begitu, rata-rata para Dalang tetap menyiapkan dan membawa peralatan dan wayangnya sendiri.

Minggu -25 Oktober 2015- kemarin menampilkan 5 Dalang yang diawali oleh penampilan Tahta Harimurti Proboatmojo membawakan lakon Bima Suci, kemudian disusul Dzul Fadhil Azhim dengan cerita Aji Narantoko, Rifky Adi Wijaya dengan Senggono Duto, Erlangga Betran Pasandaru juga Aji Norontoko, dan Aldi Priambodo membawa cerita Kikis Tunggorono.

Dalam tampilan minggu pertama -25 Oktober 2015- semua penampil perlu diapresiasi dan diacungi jempol, mereka mampu membaca dan mengekspresikan karakter wayang. Sehingga wayang sebagai media komunikasi yang memberikan tontonan dan tuntunan mudah dipahami. Alur ceritanya dibawakan para dalang dengan runtut, dan dialog-dialognya juga jelas ala anak-anak. Tidak bisa dipungkiri bahwa kemahirannya juga ditentukan oleh kedisiplinan dan track record-nya dalam mendalang.

Tahta Harimurti Proboatmojo misalnya, mulai dari tahun 2013 hingga sekarang -2015- telah mengantongi lebih dari 60 kali pentas, serta mempunyai prestasi lain, diantaranya: sebagai pemegang Sabuk Hitam (DAN 1) Taekwondo Kukkiwon Korea 2012, Juara 1 Jogja Got Talent 2014, Juara 1 lomba Wiru Kain dan Berbusana Jawa, dan masih banyak prestasi lainnya. Luar biasa! Tahta Harimurti Proboatmojo belajar dalangnya di PPPPTK Seni dan Budaya Yogyakarta.

Dzul Fadhil Azhim yang beralamat di Gedong Kuning Selatan 17A Yogyakarta dan masih bersekolah di SD N Ungaran 1 Yogya, belajar dalang di Sanggar Ayodya membawakan cerita Aji Norontoko. Dzul Fadhil Azhim bercerita tentang Gatutkaca yang diberi Aji Norontoko. Saat ditanyai tentang motivasinya menjadi dalang, Fadhil menjawab dengan singkat, sederhana, dan jelas: “Melestarikan Budaya” katanya.

Rifky Adi Wijaya yang menggelar lakon Senggono Duto ini beralamat di Tangkilan 02/22 Sidoarum, Godean, dan belajar di Sanggar Wira Budaya. Rifky sangat tertarik untuk mempelajari wayang, keinginannya untuk melestarikan budaya yang adiluhung, tidak hanya mementaskannya, namun Rifky yang gemar menggambar ini juga membuat wayang, agar menggenali lebih dekat wayang-wayang dan karakternya. Rifky yang membawakan Senggono Duto bercerita saat ditanyai sebelum pentas. “Anoman diutus Prabu Rama Wijaya untuk menemukan Dewi Sinta yang diculik oleh Prabu Dosomuko, maka berangkatlah Anoman ke Alengka, meskipun banyak halangan dan rintangan menghadang, Anoman sanggup dan membuktikan untuk membawa kembali Dewi Sinta ke hadapan Prabu Rama Wijaya,” jelas Rifky.

Erlangga Betran Pasandaru, penampil ke-4 ini berasal dari Playen Gunung Kidul. Diawali dari hobinya main wayang serta dukungan penuh dari ke dua orang tuannya. Erlangga pernah pula pentas di Jakarta, pernah juara 2 se Kabupaten Gunung Kidul, serta juara harapan 1 Yudoningkratan. Erlangga belajar dalang di Sanggar Pengalasan, menampilkan cerita Aji Norontoko dengan gaya Yogyakarta.

Penampil terakhir adalah Aldi Priambodo belajar di Sanggar Wira Budaya. Aldi berbeda dari penampil sebelumnya. Aldi mampu berinteraksi dengan penonton, seolah menjadi tidak ada jarak, mencair, antara penonton dan dirinya menjadi satu kesatuan. Seorang penonton yang tidak mau disebutkan namanya, yang mengikuti pementasan dari awal hingga akhir mengatakan: “Penampilan ke 5 sudah seperti dalang betulan, bagus, tidak tergesa-gesa dalam mendalang dan bisa membuat suasana lebih hidup dengan adanya interaksi dengan penonton.” Aldi Priambodo yang tinggal di Keloran rt 04 rw 09, Kasihan, Bantul ini sudah biasa ditanggap dalam berbagai acara, walaupun begitu Aldi tetap diminta orang tuanya untuk mendahulukan sekolahnya. Aldi mampu membanggakan ke dua orang tuanya dengan prestasinya mendalang.

Guntur Songgo Langit, selaku pendiri dan pemilik Sanggar Semut Indonesia menjelaskan tentang diadakannya Festival Dalang Bocah. “Ide atau gagasan saya, melihat adanya ke-vakum-an masa depan dari seni pedalangan di Yogyakarta, sehingga saya berupaya untuk menyelenggarakan Festival Dalang Bocah, agar seni pedalangan tersebut ada regenerasi secara umum. Mengingat seni pedalangan tersebut masih dikuasai oleh keluarga dalang, sehingga perlu wacana baru dimana seni pedalangan tersebut bisa dicapai oleh masyarakat luas secara umum di luar “dinasti” kedalangan!” jelasnya panjang lebar.

Perkembangan seni pewayangan menurut Guntur Songgo Langit, tidak sama dengan perkembangan seni pedalangan. Perngertiannya; seni pewayangan lebih mengacu pada pertunjukan atau performance-nya, contohnya: Wayang Hip Hop, Wayang Dang Dut, Wayang Suket, Wayang Plastik, dan sebagainya, yang menjadi obyek adalah wayangnya. Sedangkan seni pedalangan lebih ditekankan pada seni pertunjukan tradisi yang acuannya adalah adanya konsep tradisional. Secara wacana, konsep seni pedalangan tradisional itu ada 2, yaitu seni pedalangan sebagai seni pertunjukan atau lebih dikenal dengan istilah tontonan. Kemudian yang ke dua, seni pedalangan sebagai media tuntunan, di dalam konsep tuntunan lebih ditekankan pada nilai-nilai luhur yang sudah ditanamkan secara tradisional, bahwa seni pedalangan tersebut menjadi sebuah ajaran hidup sehingga di dalamnya terdapat nilai-nilai secara filosofi.

Tentang hubungannya dengan “Hari Wayang Dunia” Guntur Songgo Langit menerangkan runtutan ide atau gagasan awalnya: “Saya ( Guntur Songgo Langit ) dengan mas Gogon, Pemilik Sanggar Wayang Gogon di Solo dan juga seorang mantan mahasiswa ISI Surakarta, memiliki kesamaan Visi di dalam mengembangkan seni pewayangan dan seni pedalangan di Indonesia. Ide atau gagasan ini direspon positif oleh ISI Surakarta Jurusan Pedalangan dengan persetujuan Menteri Research dan Tehnology, bahwa tanggal 6 November sebagai hari Wayang Dunia, yang dimeriahkan dan disambut oleh para dalang-dalang muda dari ISI Solo sebanyak 46 dalang untuk mengadakan pameran yang bertema wayang, juga kirab budaya dengan menampilkan tokoh wayang Semar setinggi 5 meter, untuk dikirab. Kirab dimulai dari Loji Gandrung Surakarta menuju kampus ISI Surakarta dan dilanjutkan dengan pentas para dalang di ISI Solo. Sedangkan kami yang ada di Yogyakarta merayakan hari Wayang Dunia dengan mengadakan Festifal Dalang Bocah di Sanggar Seni Bodronoyo dan PEPADI Kulon Progo, setiap hari minggu dari siang sampai sore di bulan Oktober hingga November. Sebanyak 20 anak dari berbagai kota dan daerah di Indonesia” jelasnya secara runtut rentetan acara dari lahirnya ide hari Wayang Dunia.

Lepas dari semua itu, melihat penampilan mereka di minggu perdana dalam Festival Dalang Bocah ini, jelas bahwa anak-anak yang tampil memiliki potensi besar untuk menjadi duta-duta seni pedalangan secara nasional dan internasional. Selamat dan Sukses!

*Wawancara dilakukan oleh team studio gunung : Budisoka dkw, Margono, Surajiya

*Surajiya adalah pelukis yang hobi menulis, buku-bukunya diterbitkan secara indie.

Tinggalkan komentar